MAKALAH
EPISTEMOLOGI AL BURHANI
Dosen Pengampuh :
H. Aunur rofiq,Lc, M.ag,. ph.D

Oleh :
Lora Asmasari (11510082)
JURUSAN MANAJEMEN
FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAULANA MALIK IBRAHIM
MALANG 2012
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Secara singkat epistemologi bisa diartikan sebagai filsafat ilmu pengetahuan, yakni filsafat mengenai cara mengetahui kebenaran. Cara mengetahui kebenaran disini ada tiga macam. Yang pertama, adalah melalui rasio. Cara mengetahui kebenaran melalui rasio inilah yang dianut oleh aliran Rasionalism atau kalau dalam filsafat kontemporer biasa disebut dengan aliran idealism. Aliran ini pada akhirnya membentuk nalar bayani (tekstual). Kedua, adalah melalui intuisi. Cara ini dilakukan oleh penganut aliran intuitism yang mencari kebenaran melalui firasat dan pada akhirnya membentuk nalar irfani. Kemudian yang ketiga, adalah melalui indera. Cara mengetahui kebenaran yang seperti ini dianut oleh paham empirism atau juga bisa disebut materialism. Paham inilah yang pada akhirnya membentuk nalar burhani. Dan dalam bab ini saya akan mengkhususkan membahas mengenai nalar burhani atau juga bisa disebut epistemologi burhani
1.2 Rumusan Masalah
a. Apa yang dimaksud dengan epistemologi al burhani?
b. Bagaimana cara berfikir secara epistemologi al-burhani?
c. Apa hubungan antara epistemologi burhani dengan 2 epistemologi yang lain?
1.3 Tujuan
a. mengenalkan macam-macam epistemologi pada pembaca
b. Mempelajari cara berfikir secara epistemologi burhani
c. Memahami hubungan antara epistemologi bayani, irfani, dan burhani
BAB II
EPISTEMOLOGI BURHANI
Epistemologi burhani merupakan pengetahuan yang diperoleh dengan latihan rasio atau akal semata. Prinsip pengetahuan rasional dapat diterapkan pada pengalaman indera, tetapi tidak disimpulkan dari pengalaman indera.
Secara spesifik pengertian epistemologi burhani, dalam bahasa Arab, berasal dari kata “al-burhan” yang berarti argumen (al-hujjah) yang jelas (al-bayyinah). Dan distinc (al-fashl), dalam bahasa Inggris adalah demonstration, yang mempunyai akar bahasa latin dari kata demontratio (berarti memberi isyarat, sifat, keterangan, dan penjelasan). Dalam perspektif logika (al-mantiq), burhani merupakan aktivitas berfikir untuk menetapkan kebenaran melalui metode penyimpulan (al-istintaj), dengan menghubungkan presmis tersebut terhadap premis yang lain dan dibenarkan oleh nalar atau telah terbukti kebenarannya. Sedang dalam pengertian umum, burhani adalah aktivitas nalar yang menetapkan kebenaran suatu premis.
Istilah burhani yang mempunyai akar pemikiran dalam filsafat Aristoteles ini, digunakan oleh al-Jabiri sebagai sebutan terhadap sebuah sistem pengetahuan (nidham ma’rifi) yang menggunakan metode tersendiri dalam pemikiran dan memiliki pandangan dunia tertentu, tanpa bersandar pada otoritas pengetahuan yang lain. Ia bertumpu pada kekuatan natural manusia, yaitu pengalaman empiris dan penilaian akal yang mengikat pada sebab akibat. Cara berfikir seperti ini tidak dapat dilepaskan dari pengaruh logika Aristoteles.
Nalar burhani masuk pertama kali ke dalam peradaban Arab-Islam dibawa oleh al-Kindi (185-252 H) melalui sebuah tulisannya, yaitu al-Falsafah al-Ula. Sebuah tulisan tentang filsafat yang didasari oleh filsafat Aristoteles. Al-Kindi menghadiahkan tulisan ini kepada khalifah al-Makmun (218 H-227 H). Di dalam al-Falsafah al-Ula, al-Kindi menegasakan bahwa filsafat merupakan ilmu pengetahuan manusia yang menempati posisi paling tinggi dan paling agung, karena dengannya hakikat segala sesuatu dapat diketahui. Melalui tulisan itu pula, al-Kindi menepis keraguan orang-orang yang selama ini menolak keberadaan filsafat dan menyatakan bahwa filsafat adalah jalan mengetahui kebenaran.
Sebagaimana telah diuraikan di atas, Aristoteles merupakan orang pertama yang membangun epistemologi burhani yang populer dengan logika mantiq yang meliputi persoalan alam, manusia dan Tuhan. Aristoteles sendiri menyebut logika itu dengan metode analitik. Analisis ilmu atas prinsip dasarnya baik proporsi amliyah (Categorical Proposition) maupun shar’iyah (Hypothetical Proposition) pada hakikatnya adalah alat untuk mencapai tujuan berupa aturan-aturan untuk menjaga kesalahan berpikir. Wilayah yang menjadi obyeknya meliputi 10 persoalan substansi, yang pertama dan yang sembilan adalah oksiden dengan segala derivasinya; kuantitas (panjang), kualitas, hubungan (idafah), tempat atau ruang, waktu, kepemilikan, fiil (pasi), infi'al (affectif) atau ilmu pengetahuan.
Adapun kecakapan untuk berpikir lurus dalam penalaran dibedakan menjadi dua kegiatan: analitika dan dialektika. Analitika dipakai untuk menyebut cara penalaran dan argumentasi yang berdasarkan pada pernyataan-pernyataan yang benar, akan tetapi burhani adalah aktifitas berpikir secara mantiqi yang identik dengan silogisme atau al-qiyas al-jami` yang tersusun dari beberapa proposisi. Dengan demikian, burhani (al-qiyas al-'ilmi) menekankan tiga syarat, yaitu:
a. Pertama, mengetahui terma perantara yang 'illah (causa) bagi kesimpulan (ma'rifat al-hadd al-ausat wa al-natijah);
b. Kedua, keserasian hubungan relasional antara terma-terma dan kesimpulan (tartib al-`alaqah bayn al-illah wa al-ma'lul), antara terma perantara dan kesimpulan-kesimpulan sebagai sistematika qiyas; dan
c. Ketiga, natijah (kesimpulan) harus muncul secara otomatis dan tidak mungkin muncul kesimpulan yang lain. Qiyas ketiga ini yang inheren dengan epistemologi burhani.
Dari uraian tersebut, jelas bahwa logika Aristoteles lebih memperlihatkan nilai epistemologi dari pada logika formal. Demikian pula halnya dengan diskursus filsafat kita dewasa ini yang melihat persoalan alam (alam, Tuhan dan manusia) bukan lagi persoalan proposisi metafisika karena epistemologi burhani dikedepankan untuk menghasilkan pengetahuan yang valid dan konstruksi pengetahuan yang meyakinkan tentang persoalan duniawi dan alam. Dinamika kehidupan kontemporer dewasa ini dapat memilah masing-masing pendekatan epistemologik: bayani dan `irfani karena masing-masing memiliki tipikal satu sama lain, dan epistemologi burhani berada pada posisi penyempurna keserasian hubungan antara kedua epistemologi tersebut.
.
Al-Jabiri menggunakan burhani sebagai sebutan terhadap sistem pengetahuan yang berbeda dengan metode pemikiran tertentu dan memiliki world view tersendiri, yang tidak bergantung pada hegemoni sistem pengetahuan lain. Burhani mengandalkan kekuatan indera, pengalaman, dan akal dalam mencapai kebenaran.
Ketiga kecenderungan epistemologis Islam ini, secara teologis mendapatkan justifikasi dari al-Qur’an. Dalam al-Qur’an banyak ditemukan ayat-ayat yang berbicara tentang pengetahuan yang bersumber pada rasionalitas. Perintah untuk menggunakan akal dengan berbagai macam bentuk kalimat dan ungkapan merupakan suatu indikasi yang jelas untuk hal ini. Akan tetapi, meskipun demikian, tidak sedikit pula paparan ayat-ayat yang mengungkapkan tentang pengetahuan yang bersumber pada intuisi (hati atau perasaan) terdalam.
Van Peursen mengatakan bahwa akal budi tidak dapat menyerap sesuatu, dan panca indera tidak dapat memikirkan sesuatu. Namun, bila keduanya bergabung timbullah pengetahuan, sebab menyerap sesuatu tanpa dibarengi akal budi sama dengan kebutaan, dan pikiran tanpa isi sama dengan kehampaan. Burhani atau pendekatan rasional argumentatif adalah pendekatan yang mendasarkan diri pada kekuatan rasio melalui instrumen logika (induksi, deduksi, abduksi, simbolik, proses, dll.) dan metode diskursif (bathiniyyah). Pendekatan ini menjadikan realitas maupun teks dan hubungan antara keduanya sebagai sumber kajian.
Lepasnya pemahaman atas teks dari realita (konteks) yang mengitarinya, menurut Nasr Abu Zayd, akan menimbulkan pembacaan yang ideologis dan tendensius (qira’ah talwiniyah mughridlah).
Realitas yang dimaksud mencakup realitas alam (kawniyyah), realitas sejarah (tarikhiyyah), realitas sosial (ijtimaiyyah) dan realitas budaya (thaqafiyyah). Dalam pendekatan ini teks dan realitas (konteks) berada dalam satu wilayah yang saling mempengaruhi. Teks tidak berdiri sendiri, ia selalu terikat dengan konteks yang mengelilingi dan mengadakannya sekaligus darimana teks itu dibaca dan ditafsirkan.
BAB III
KESIMPULAN
Epistemologi burhani merupakan pengetahuan yang diperoleh dengan latihan rasio atau akal semata.
Burhani atau pendekatan rasional argumentatif adalah pendekatan yang mendasarkan diri pada kekuatan rasio melalui instrumen logika (induksi, deduksi, abduksi, simbolik, proses, dll.) dan metode diskursif.
Burhani mengandalkan kekuatan indera, pengalaman, dan akal dalam mencapai kebenaran.
epistemologi burhani berada pada posisi penyempurna keserasian hubungan antara kedua epistemologi bayani dan irfani.
Burhani digunakan oleh al-Jabiri sebagai sebutan terhadap sebuah sistem pengetahuan (nidham ma’rifi) yang menggunakan metode tersendiri dalam pemikiran dan memiliki pandangan dunia tertentu, tanpa bersandar pada otoritas pengetahuan yang lain.
DAFTAR PUSTAKA
Thoyibi, M. 1999. Filsafat ilmu dan perkembangannya. Surakarta. muhammadiyah universitas press.
www.Filsafat Pendidikan Islam EPISTEMOLOGI BURHANI.htm
Zainuddin, M. 2011. Filsafat ilmu perspektif pemikiran islam. Yogyakarta. Naila pustaka
Tidak ada komentar:
Posting Komentar